Kamis, 13 Juli 2017

Bunuh Diri, Keterasingan, dan Pembusukan Dunia Pendidikan

 Bunuh Diri, Keterasingan, dan Pembusukan Dunia Pendidikan

Jakarta - Barangkali kisah tragis ini bagi sebagian orang hanyalah angin lalu. Tapi, kita bisa menyerap saripati makna kehidupan darinya. Sudah sejak lama bidak rumah tangga Indra (panggilan akrab Pahinggar Indrawan) diterpa keretakan. Dia menengarai istrinya sedang bermain hati dengan lelaki lain. Klimaks dari situasi ini lantas berakhir dengan bunuh diri. Indra menggantung diri dengan seutas tali. Ironisnya, aksi bunuh dirinya ditayangkan langsung melalui layar kaca telepon genggamnya dan mendadak viral di dunia maya.

Sontak publik membicarakannya di berbagai media. Bahkan, dentuman wacana tentangnya masih terasa hangat detik ini. Belum juga usai, tiba-tiba publik dikejutkan lagi dengan kasus bunuh diri manajer JKT 48. Entah berapa banyak lagi kasus bunuh diri, sebelum dan setelah itu, yang tak terekspos media massa. Yang jelas, kasus-kasus bunuh diri tersebut dianggap puncak gunung es dari masalah kesehatan mental masyarakat.

Masyarakat yang Sakit

Erich Fromm pada salah satu karyanya The Sane Society (1955) mengatakan bahwa kejiwaan seseorang terkait dengan perkembangan sosial politik masyarakatnya. Masyarakat modern yang ditandai dengan rasionalitas instrumental dan kapitalisasi lini kehidupan telah menghancurkan cinta manusia sebagai energi produktif peradaban. Itulah sebabnya, Fromm mengawinkan analisis psikis dengan sosial-historis ketika psikologi menutup diri dari dunia sosial.

Melalui The Anatomy of Human Destructiviness (1973) Fromm menegaskan bahwa secara genetis manusia bukanlah makhluk agresif, merusak, bahkan mematikan. Karakter destruktif manusia mulai terbentuk karena keterhubungan secara sosial yang menciptakan situasi keterasingan (alienasi).

Setidaknya, ada tiga macam tipikal manusia agresif dan destruktif. Pertama, mereka yang menyerahkan kebebasannya secara total terhadap pihak-pihak yang berkuasa. Merekalah manusia otoriter yang tampil ke dalam sekelompok massa.

Kedua, mereka yang merampas kebebasan orang lain. Merekalah manusia eksploitatif yang mewujud ke dalam rezim ekonomi politik.

Ketiga, mereka yang tak mampu membedakan diri dan dunia orang lain. Mereka adalah manusia automatom yang hadir dalam praktik kriminalitas, korupsi, narkotika. Termasuk pemanipulasi pengetahuan, pelanggar HAM, penggila harta dan tahta, serta perusak lingkungan.

Peristiwa bunuh diri juga perlu melibatkan pemahaman konteks sosiologis. Beberapa pertanyaan bisa saja diajukan terkait hal ini. Bagaimana mungkin seorang terpelajar dan dibesarkan dalam keluarga yang saleh menjadi pelaku bom bunuh diri atas nama prinsip agama yang diyakininya? Bagaimana mungkin manusia yang berakal budi sengaja bunuh diri sebagai bukti cintanya tak bisa ke lain hati? Bahkan, seorang pelajar nekad bunuh diri karena dia tak sanggup menanggung malu atas ketidaklulusannya dalam serangkaian standar ujian.

Durkheim pernah menulis dalam karyanya, Suicide (1897) bahwa fakta sosial bunuh diri terjadi karena solidaritas sosial yang berbeda pada masing-masing kelompok sosial. Dalam pandangannya, ada empat tipe bunuh diri sosial.

Pertama, bunuh diri egoistik. Yakni, bunuh diri yang disebabkan kepentingan individu lebih besar daripada norma sosial. Kedua, bunuh diri anomik. Yakni, bunuh diri terjadi ketika kekacauan sosial seperti perang tengah bergejolak hebat.

Ketiga, bunuh diri altruistik. Bunuh diri ini dikarenakan tuntutan kolektif lebih besar daripada kepentingan individunya. Harakiri di kultur masyarakat Jepang adalah contohnya. Keempat, bunuh diri fatalistik. Mereka yang sering galau mudah melakukan bunuh diri. Contohnya, orang yang belum berkeluarga atau tercerai dari keluarganya cenderung bunuh diri fatalistik.

Bunuh Diri, Keterasingan, dan Pembusukan Dunia PendidikanFoto: ilustrasi: edi wahyono
Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia, kasus bunuh diri menjadi berbeda. Berdasarkan data WHO tahun lalu, 4.3% per 100.000 penduduk di Indonesia melakukan bunuh diri. Dengan kata lain, diperkirakan ada satu orang bunuh diri setiap jamnya. Dibandingkan negara di Asia, angka bunuh diri di Indonesia memang tergolong rendah. Deskripsinya, setiap 100 ribu penduduk terjadi 38.5% bunuh diri di Korea Utara (45.4% laki-laki dan 35.1% perempuan), dan 28.9% bunuh diri di Korea Selatan (41.7% laki-laki dan 18.0% perempuan).

Berikutnya, 21.1% di India (25.8% laki-laki dan 16.4% perempuan), dan 18.5% bunuh diri di Jepang, (26.9% laki-laki dan 10.1% perempuan). Lalu, 11.4% di Thailand (19.1% laki-laki dan 4.5% perempuan), 7.8% di Cina (7.1% laki-laki dan 8.7% perempuan), 7.4% di Singapura (9.8% laki-laki dan 5.3% perempuan).

Sekalipun demikian, bunuh diri di Indonesia tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab, menurut data sejarah bunuh diri di dunia, 75% angka bunuh diri banyak disumbang oleh negara-negara sedang berkembang. Hal ini disebabkan jurang ketimpangan ekonomi dan pendidikan masih tampak curam di negara bekas jajahan.

Pendidikan

Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brazil, telah membuktikan bahwa pendidikan merupakan alat pembebasan dari kemelaratan ekonomi dan penderitaan sosial yang melanda kelompok kaum tertindas. Tapi, di tengah gelombang modernitas, pendidikan menurut Alice Miller (1990) didirikan di atas puing reruntuhan prinsip kejujuran dan keadilan. Hal ini disebabkan pengaruh ekonomi ilegal dan politik praktis kelompok dominan yang meracuni (poisonisasi) nilai-nilai luhur pendidikan.

Entah berapa banyak korupsi anggaran pendidikan di negeri ini. Entah berapa banyak kasus kecurangan tatkala ujian kelulusan dilaksanakan. Entah berapa banyak nasib guru dan dosen yang dikebiri dengan kebijakan anggaran dan sentralisme birokrasi. Maka, tak heran pendidikan dianggap sebagai ladang mencari jabatan, memperkaya diri, penjinakan tersistematis, dan manipulasi politik segelintir elit yang mungkin tak peduli dengan masa depan generasi bangsanya.

Ardhie Raditya dosen pendidikan kritis dan kajian budaya di departemen Sosiologi Universitas Negeri Surabaya


(mmu/mmu)

Sumber :  
https://news.detik.com/kolom/d-3467781/bunuh-diri-keterasingan-dan-pembusukan-dunia-pendidikan


TUGAS KULIAH : 
MENCARI ARTIKEL BERITA DAN KEMUDIAN, MENGANALISA MASALAH KETERASINGAN DALAM KALANGAN MASYARAKAT UMUM. 


Masalah keterasingan kadang timbul dari perbedaan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Entah perbedaan dalam hal suku, ras, agama, warna kulit, dll. Beberapa diantara mereka melakukan bullying terhadap orang berbeda dengan golongan tertentu.

Bahkan, dalam beberapa kasus, korban bullying mengalami depresi atau bahkan sampai bunuh diri. Keterasingan memang menjadi salah satu momok yang paling ditakuti dalam beberapa kalangan tertentu. Di beberapa negara, banyak yang mengalami keterasingan karena memiliki masalah dalam hal ekonomi, dan masih berlaku hingga sekarang.

Kesetaraan umat manusia adalah hal terpenting dalam hidup bersosialisai. Tidak memandang rendah orang lain, tidak menghina orang lain, dan tidak mendiskriminasi orang lain. Melainkan saling menghargai pendapat, menjunjung tinggi rasa persaudaraan, dan hidup rukun dengan berbagai lingkungan.